Grup musik The Panturas mempersembahkan tafsir sinema All I Want, single ketiga The Panturas dari sophomore Ombak Banyu Asmara. Film pendek karya sutradara Edy Khemod diperankan oleh beberapa aktor kawakan Tanah Air.
Film pendek ini mengekspos kisah balas dendam berbalut asmara milik seorang perempuan bernama Ida kepada seorang tukang jagal, pembunuh orang tuanya yang dituduh antek PKI pada masa pemberangusan komunis ’65. Dengan tiga peran karakter yang dibintangi oleh para aktor berkelas: Prisia Nasution sebagai Ida, Dimas Danang sebagai Anwar, dan Tio Pakusadewo sebagai sang tukang jagal.
The Panturas dan kisah fiktif adalah kombinasi sahih yang menghasilkan kekuatan bercerita apik. Penggalian konflik di antara celah imajinasi itulah yang membuat lagu-lagu surf rock mereka selalu terasa memiliki daya hidup, oleh karena kehadiran serangkaian tokoh rekaan yang lahir bergantian mewarnai seluk beluk adegan aransemen.
Mereka mempraktikkan literasi dengan baik, dan yang tak kalah penting, mereka serius ketika harus menerjemahkannya secara visual. Tonton saja video musik mereka belakangan ini, seperti Queen of the South atau Tafsir Mistik, pasti bernafas sinematis dan berjahil komikal.
“Visual adalah salah satu elemen penting yang selalu kami jaga. Namun kami juga bukan tipe saklek, yang memaksakan ide-ide visual tersebut harus sama dengan keinginan kami. Kami terbuka akan hal-hal yang kolaboratif. Kami suka ketika orang mengutarakan perspektif lain dari lagu yang kami buat,” sebut Kuya lagi.
Nah, di titik itulah The Panturas bertemu dengan Edy Khemod bersama tim Angin Segar Films. Alih-alih membuat video musik untuk single berikutnya, keduanya malah menerobos kebiasaan baru lewat besutan film pendek. Ide tentang film pendek ini pertama kali dicetuskan oleh Khemod. Selanjutnya The Panturas datang melempar topik pembunuhan, dengan basis khayalan mengadaptasi kasus Setiabudi 13.
Terkait premis cerita yang mengambil latar kelam sejarah genosida komunis di tahun 1965 sebagai motif utama pembalasan dendam, Edy Khemod menanggapinya dengan menyelipkan dua pesan khusus yang ingin disampaikannya.
“Ketika tengah mengembangkan cerita, kami sadar kalau ternyata violence breed violence. Susah untuk memutus mata rantai lingkaran kekerasan, makanya sebaiknya dihindari. Dan walaupun bergaya fiksi film ini mengandung pertanyaan, bahwa ada masa lalu yang terus ditutupi, dan kita tidak pernah terbuka sebagai sebuah bangsa setiap kali menghadapi masalah itu. Jadi, bukan tidak mungkin kejadian berdarah seperti di film ini bisa terwujud di kehidupan nyata,” jelas Khemod.
Cerita kemudian berkembang menuju 16 tahun berikutnya ketika dengan dramatis Ida telah berhasil menyekap si penjagal, yang tangannya kini terikat di tempat pengulitan daging di restoran sate kambing miliknya. Siap dicacah. Sebelum Anwar, gebetan Ida yang lugu dan romantis itu, nongol secara mengejutkan di depan pintu, merengek, menagih balasan cinta yang tak kunjung juga diterimanya.
Sadar dirinya nanti membutuhkan bantuan bersih-bersih pasca pembantaian, mental psikopat Ida pun berkibar, diseretnya Anwar masuk ke dalam rencana sadisnya malam itu dengan cara klasik: ia mempertanyakan seberapa besar kesungguhan cinta Anwar, dan demikian pula ia menuntut sebuah pembuktian darinya. Anwar yang bersemangat kontan masuk perangkap, sampai akhirnya terjadilah hal yang sudah dinantikan Ida selama hidupnya. (Mycroft / foto: IG @thepanturas)